top of page

Hari Buku Nasional

Sudah hampir sebulan lebih ini saya berusaha menamatkan novel "Mangun.” Saya nggak mau bercerita banyak soal isinya. Kalo mau tahu, mending baca sendiri.


Yang pasti, saya mengagumi rasa kemanusiaan Romo Mangun yang mampu meleburkan diri dengan sekitar dan mencairkan pengetahuan formal kepada masyarakat dan kaum terpinggirkan yang rentan diskriminasi serta sulit tersentuh lembaga sekolah. Beliau mendekatkan segala pengetahuan dan mengabdikan diri sepenuhnya terhadap kemanusiaan. Buat saya, rasanya terlalu bohong ketika kita berbicara tentang humanisme yang agung tapi masih mendiskriminasi dan memandang hina terhadap mereka yang miskin atau yang berbeda dari kebanyakan.



Buku-buku yang saya baca sejauh ini selalu memantik diri saya untuk makin banyak lagi menyentuh buku-buku lain. Agar saya terus belajar dan makin memperluas pandangan.

Berikut ini buku-buku favorit Marsya:

PEREMPUAN DI TITIK NOL (Nawal El Saadawi) Buku ini adalah salah satu yang membuka mata saya betapa jahatnya patriarki dalam membentuk pribadi laki-laki dan perempuan. Khususnya bagi perempuan, patriarki telah membuatnya jadi makhluk yang amat inferior. Padahal, perempuan bukanlah makhluk kelas dua. Bukan obyek yang dapat ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Maka dari itu diskriminasi berdasarkan gender dalam segala aspek baik itu sosial, ekonomi, maupun politik harus sebisa mungkin dihancurkan.


TETRALOGI PULAU BURU (Pramoedya Ananta Toer) Bagi saya, empat rangkai buku ini – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca – adalah satu cerita utuh yang selalu saya anggap sebagai satu kesatuan alias satu buku. Dari empat buku itu, ada beberapa hal yang amat membekas dan jadi pelajaran penting bagi saya. Bahwa bentuk perlawanan itu bukan hanya dengan menombak atau menembak. Tapi bisa juga dengan goresan pena. Mereka yang berani bersuara pada jaman itu bukan hanya penyelamat nyawa, tapi juga harga diri sebangsanya. Mereka yang bahkan mampu menggerakkan orang paling lemah sekalipun untuk melawan dan mempertahankan haknya. Satu pesan membekas di penghujung Anak Semua Bangsa yang saya ingat, Mbah Pram menulis,"Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”


BUKAN PERAWAN MARIA (Feby Indirani) Saya mungkin jadi yang beruntung karena mendapat buku ini langsung dari penulisnya, gratis pula. Saat pertama kali membacanya, saya beberapa kali bergumam, "Ternyata bukan saya saja yang merasa begini…." Ada semacam keterwakilan dalam tiap ceritanya. Sampai akhirnya kami sempat membuat lirik dari hasil membaca buku ini dan diskusi dengan Abah. Saya mengagumi cara-cara Teh Feby dalam mengritik diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok-kelompok “keras.” Terasa menusuk, namun tetap dibungkus dengan humor yang santai dan ringan. Hal yang sudah lama sulit saya temukan di buku-buku yang saya baca.


Selain buku diatas, ada dua penulis buku yang paling saya kagumi:


Pramoedya Ananta Toer Sejak pertama kali membaca buku Mbah Pram, saya merasa langsung jatuh cinta. Dari style maupun isi, dia selalu berhasil memenangkan hati pembacanya. Setiap selesai baca karyanya, saya selalu lupa dengan jarak antara dia sebagai penulis dan saya sebagai pembaca.


Nawal El Saadawi

Dia adalah tokoh perempuan yang tak bisa dibilang biasa. Dia dengan konsisten melawan penindasan kelas, penindasan gender dan penindasan agama. Lewat tulisan-tulisannya yang pedas dan berani, saya yakin dia sudah berjasa menumbuhkan keberanian dan rasa kemanusiaan di hati tiap pembacanya. Apalagi jika mengingat dari mana dia berasal, tentu tulisannya sangat berdasar pada pengetahuan dan pengalamannya sebagai perempuan yang mungkin juga dirasakan perempuan lain di belahan Bumi berbeda.

Selamat Hari Buku Nasional! Selamat menyelami dunia dari berbagai perspektif berbeda!


(Marsya)

4 views0 comments
bottom of page